Pada tahun 1974 sekembalinya B.J. Habibie dari Jerman menuju ke Tanah
Air, Presiden Suharto langsung memberi instruksi kepada B.J. Habibie
untuk merintis IPTN. Bermodalkan semangat dan tekad yang kuat
B.J.Habibie berangkat ke luar negeri guna mengajak industri-industri
pesawat terbang lainnya untuk bekerjasama. Di dalam usahanya itu,
tantangan besar siap dihalau. Bahkan tamparan keras dirasakan ketika
akan berunding dengan sebuah industri pesawat terbang di Kanada.
Direktur utama perusahaan menolak untuk bertemu bahkan ketika asisten
direktur perusahaan menerimanya, dengan keras mereka menjawab tidak
berminat untuk bekerja sama dengan Indonesia dan yang perlu dimengerti
oleh anda membangun industri pesawat terbang itu tidak mudah Habibie
seharusnya semua mengerti. Dengan kata lain, bangsa Indonesia tidak akan
becus membuat pesawat terbang. Karena itu jangan bermimpi.
Tidak
ada usaha tanpa hasil didunia ini, akhirnya beliau mendapatkan mitra
yaitu CASA Spanyol yang setuju bekerjasama dalam pembuatan NC 212
Aviocar berbaling-baling ganda. Kemudian berdasarkan pengalamannya di
Eropa, beliau berhasil membuat persetujuan dengan MBB untuk membuat
Helikopter BO-105 dan sebagainya. (The True Life of Habibie)
Satu diantara buah karyanya adalah prototipe DO-31, pesawat
baling-baling tetap pertama yang mampu tinggal landas dan mendarat
secara vertikal, yang dikembangkan HFB bersama industri Donier.
Rancangan ini lalu dibeli oleh Badan Penerbangan dan Luar Angkasa
Amerika Serikat (NASA). Hasil lainnya antara lain pesawat terbang
pertama buatan Indonesia CN-235 dan N-250. Pesawat Airbus A-300 yang
diproduksi konsorsium Eropa (European Aeronautic Defence and Space) tak
lepas dari sentuhan Habibie. Maklumlah dalam konsorsium ini tergabung
Daimler, produsen Mercedes-Benz yang mengakuisisi MBB.
“Ini hadiah ulang tahunmu, sayangku”, ucap Habibie, setelah N
250-Gatotkaca berhasil lepas landas dan terbang mulus melintasi langit
Nusantara dalam Uji terbang pertama. Pada waktu itu mata keduanya
berkaca-kaca sungguh romantis dan membahagiakan, setelah perjuangan dan
kerja keras hampir 20 tahun , Pak Habibie dan Teamnya di IPTN yang
sekarang bernama PT. Dirgantara Indonesia akhirnya mereka bisa
membuktikan pada dunia Internasional bahwa Indonesia sudah mampu membuat
pesawat berteknologi canggih dan irit melalui tangan Anak Bangsa
sendiri.
Keberhasilan itu akhirnya didorong lebih jauh lagi dengan upaya untuk
melahirkan pesawat penumpang jet pertama yang kemudian dinamakan dengan
N-2130, pesawat bermesin ganda dan berkapasitas 130 penumpang. Sayang
sekali, mimpi tersebut telanjur sirna di tengah perjalanan pada saat
perekonomian Indonesia didera krisis di tahun 1998. Tanpa alasan yang
logis IMF meminta pemerintah Indonesia untuk menutup badan strategis
milik Negara ini sebagai salah satu syarat untuk membantu Indonesia
keluar dari krisis ekonomi. Sehingga banyak karyawan-karyawan ahli
dirgantara yang di PHK dan pindah kerja ke industri pesawat luar negri
seperti, AirBus, Boeing, ATR, Eurocopter, dan banyak lagi.
Tapi, sekarang mari kita tinggalkan masa kelam itu, Industri pesawat
Indonesia melalui PT. DI mulai bangkit kembali dengan dukungan bersama
baik dari pemerintah maupun masyarakat Indonesia. Lambat tapi pasti PT.
Dirgantara Indonesia kebanjiran order pesawat baik itu dari kementrian
Pertahanan RI, juga dari Negara-negara Asia, seperti Malaysia, Pakistan,
dan Korsel yang memakai Pesawat CN 235-220 Made In Bandung tersebut
sebagai pesawat PIV kepresidenan. Juga Ex-karyawan-karyawan PT. DI yang
sebelumnya menyebar ke berbagai industri pesawat Negara lain, mulai
dipanggil satu persatu untuk kembali ke PT. DI, bahkan ribuan karyawan
yang sempat terpisah itu siap mengabdi buat ibu pertiwi, jika seandainya
dipanggil kembali. Ditambah lagi PT. Dirgantara Indonesia baru saja
menandatangi kontrak kerja sama dengan AirBus untuk memproduksi pesawat
NC 212 Serta adanya kerja sama dengan Korsel untuk membuat Pesawat
Tempur Sendiri.
Berikut pesawat dan helicopter produksi PT.
Dirgantara Indonesia :
|
NC 212-200 |
|
|
C 212-400 |
|
|
CN 235-220 MPA |
|
CN 235-220M |
|
N 250-Gatotkaca |
|
CN 295 |
|
NAS332 SUPER PUMA |
Luar biasa semoga kedepannya Industri Pesawat di
Indonesia kembali bisa Berjaya.
Dan inilah PESAWAT-PESAWAT Komersil DAN JET TEMPUR Buatan INDONESIA YANG MENDUNIA
Di bidang penguasaan teknologi pesawat terbang,
Indonesia telah terkenal sebagai satu-satunya negara di Asia Tenggara
yang memproduksi dan mengembangkan pesawat sendiri. Walaupun di
bidang pemasaran produksi pesawatnya sendiri harus kita akui kita
masih kalah bila dibandingkan dengan Brazil, yang mengembangkan
EMBRAER dan memasarkannya ke seluruh dunia.
Akan tetapi, beberapa tahun
belakangan ini, beberapa negara mulai mengalihkan perhatiannya ke
pesawat buatan Indonesia, sebut saja Malaysia, Pakistan, UAE,
Philipina, dan Korea Utara, serta beberapa negara lainnya. CN-235
tampaknya akan mendapatkan pangsa pasar yang lebih luas di beberapa
tahun kedepan setelah lebih banyak negara yang sadar akan
kehandalannya. Malaysia sendiri berencana memesan 4 pesawat tambahan
untuk menambah jumlah pesawat CN-235 yang sudah mereka miliki.
Apalagi dengan kejadian jatuhnya
pesawat MA-60 milik PT Merpati Nusantara Airlines buatan Xi’an
Aircraft International Company semakin menuai opini : " Kenapa kita
tidak menggunakan pesawat produksi dalam negeri saja ? ". Padahal
banyak laporan yang melansir bahwa harga pesawat China malahan terlalu
mahal dibanding produksi dalam negeri, apalagi ditambah kualitas
barang yang patut dipertanyakan, bahkan ada isu yang berkembang bahwa
pembelian pesawat China tersebut dibumbui unsur KKN (perlu dicheck
ulang kontraknya ?, itu pun perkataan banyak media massa).
Nah, sebetulnya untuk kelas
pesawat yang sama, PT. DI sendiri juga telah memiliki jenis pesawat CN
235 yang kompetitif, sudah teruji kehandalannya dan terpakai oleh
beberapa negara dunia, termasuk diantaranya Amerika. Apalagi dengan
bebagai prototipe yang lain yang dahulu maupun yang akan datang telah
dikembangkan. Terlepas dari unsur politik dan kebijakan, perlu kita
ketahui pesawat-pesawat buatan Indonesia yang saat ini tengah
dipasarkan dan dikembangkan karena masih berupa prototype yang sudah
lulus uji aerodinamika.
1. Pesawat N-2130
N-2130 adalah tipe pesawat jet
yang hendak dikembangkan PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN)
pada masa jaya perusahaan tersebut di pertengahan 1990-an.
Pengembangan pesawat jet komuter dengan jumlah penumpang antara 80–130
orang itu mungkin terinspirasi pesawat yang dikembangkan perusahaan
pesawat terbang Brasil,Embraer. Bedanya, Embraer sekarang ini
menghasilkan pesawat Embraer Regional Jet (ERJ) yang banyak digunakan
perusahaan penerbangan Amerika Serikat (AS), terutama untuk shuttle
flight pada jalur-jalur padat Boston, New York, Washington DC, dan
Miami.
Adapun N-2130 ternyata hanya
menjadi mimpi karena terkubur krisis moneter 1998. Sebagai rentetan
krisis tersebut, pemerintah harus menghentikan bantuan kepada IPTN
sebagai bagian kesepakatan dengan Dana Moneter Internasional (IMF).
Hari ini, lebih dari 10 tahun sejak krisis moneter, kita berada pada
posisi yang jauh lebih baik dan siap untuk menghidupkan kembali proyek
tersebut.
Ada beberapa alasan kuat untuk
itu. Pertama, Indonesia sudah berkembang menjadi kekuatan ekonomi yang
patut diperhitungkan. Dalam krisis global baru-baru ini, Indonesia
berhasil untuk tetap menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang moderat
bersama China dan India. Perkembangan tersebut membuat Indonesia masuk
dalam radar perekonomian global.
Ini berarti apa yang diproduksi
Indonesia mulai diperhitungkan perusahaan penerbangan di luar negeri.
Kedua, perkembangan tersebut juga memperkuat daya beli rakyat dan dunia
usaha Indonesia. Jika 12 tahun lalu hanya Garuda dan Merpati yang
menjadi perusahaan penerbangan nasional, sekarang banyak perusahaan
penerbangan yang mampu membeli pesawat dalam jumlah besar.
Perkembangan traffic dan jumlah
penumpang pesawat terbang melonjak sehingga sangat layak jika industri
pembuat pesawat terbang akan kecipratan berkah di tahun-tahun
mendatang, menurut perkiraan Compliance Services Indonesia. Ketiga,
dalam keadaan terjepit pun PT IPTN, yang kini bermetamorfosis menjadi
PT Dirgantara Indonesia (PT DI), mampu memasarkan produk ke pelanggan
di luar negeri. Korea Selatan sudah membeli beberapa pesawat CN 235,
termasuk empat di antaranya yang merupakan pesanan Departemen
Pertahanan Korea Selatan untuk patroli maritim.
Demikian juga dengan Malaysia,
Thailand,Pakistan,dan Turki. Korea Selatan, Malaysia, dan Pakistan
bahkan telah membeli pesawat jenis CN 235 untuk digunakan sebagai
pesawat kepresidenan. Keempat, PT DI pada 2009 mulai berhasil mencetak
laba. Perolehan pendapatan tersebut diperkirakan semakin besar pada
2010 dengan adanya pesanan 10 helikopter untuk Angkatan Udara dan
Basarnas serta pesanan tiga pesawat CN 235–200 MPA untuk menggantikan
pesawat Nomad Angkatan Laut Indonesia.
Ini membuktikan restrukturisasi
perusahaan tersebut mulai berhasil dalam meningkatkan efisiensi.
Kelima, Indonesia sudah lulus dari program IMF. Ini berarti Indonesia
memiliki kebebasan penuh untuk mengembangkan kembali cita-cita. Saya
yang pernah bekerja di IMF selama lima tahun sangat memahami bahwa
tidak ada dari lembaga internasional tersebut yang dapat mencegah kita
melakukan hal tersebut.
Keenam, kemampuan keuangan
pemerintah.Keuangan pemerintah sekarang sangat kuat. Kecilnya defisit
APBN maupun rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) merupakan
ukuran internasional yang menunjukkan kekuatan kita. (Tulisan saya
pekan lalu,“Utang Pemerintah dalam Perekonomian Global”, menjelaskan
hal tersebut). Sekarang ini pemerintah memiliki uang tunai yang
jumlahnya sekitar Rp200 triliun. Uang tersebut setiap kali justru
semakin bertambah dan bukannya berkurang.
Untuk pengembangan N–2130,
pemerintah perlu memastikan keekonomiannya dan sangat mungkin
memberikan bantuan. Terlebih lagi jika PT DI mampu menunjukkan laba
kembali dalam dua tahun ke depan, bukan hanya perbankan yang akan
berebut untuk memberikan pembiayaan, pasar modal pun akan terbuka lebar
untuk menerima penawaran saham perdana (IPO) PT DI. Ketujuh, alasan
idealisme.
Begitu banyak tenaga ahli
penerbangan Indonesia eks IPTN yang sekarang ini berdiaspora di luar
negeri. Mereka mampu mengembangkan keahliannya dan diakui oleh raksasa
industri penerbangan di Amerika, Eropa maupun negara-negara lain,
sedangkan kesempatan untuk mengembangkan industri di Tanah Air
sebetulnya juga terbuka lebar. Berdasarkan hal-hal tersebut, yang
daftarnya juga bisa diperpanjang, merupakan suatu kesia-siaan membiarkan PT DI berjuang sendiri.
Sebagai perusahaan, dengan
keuntungan yang dihasilkan saat ini,mereka jelas akan mampu berkembang.
Namun kecepatan pertumbuhan mereka akan sangat rendah tanpa ada
keberpihakan pemerintah. Pemerintah dapat mulai membantu PT DI dengan
menghidupkan kembali pesawat N250 yang sudah menghasilkan prototipe,
bahkan sudah pula hadir dalamAir Show di Eropa sebelum krisis moneter
1998.
Pesawat yang sekelas dengan ATR
42 dan salah satu varian dari Embraer tersebut memiliki potensi yang
sangat besar bagi penggunaannya di Indonesia yang memiliki banyak
bandara berlandasan pendek. Seiring pengembangan N250, riset dan
pengembangan produk pesawat N-2130 mulai dapat diintensifkan.
Dengan kerangka waktu lebih
tertata, kita bisa mengharapkan bahwa dalam tiga-empat tahun ke depan,
kita sudah memiliki gambaran untuk melihat prospek yang lebih jelas
bagi pesawat tersebut. Visi 2025 pemerintah jelas, yaitu menginginkan
Indonesia menjadi negara maju di tahun tersebut. Let’s just do it.
Marilah kita mengisi visi tersebut dengan segenap kemampuan kita. Jika
Brasil bisa, kenapa kita tidak?
2. Pesawat N-250
Prototipe pesawat N250 sendiri pernah terbang menuju Le Bourget Perancis untuk mengikuti Paris Air Show. Penampilan perdana pesawat
N250 tersebut menggetarkan lawan-lawannya, karena merupakan pesawat
yang menggunakan teknologi fly by wire yang pertama dikelasnya. Pada
saat tersebut (dan juga sekarang) pesawat sekelas adalah ATR 42 yang
merupakan produksi pabrik pesawat Prancis ATR, Fokker F50, produksi
pabrik pesawat Fokker Belanda dan Dash 8, produksi pabrik pesawat De
Havilland (sekarang Bombardier) dari Kanada.
Pesawat N250 murni merupakan
rancang bangun anak bangsa. Setelah melewati fase-fase yang panjang
sejak didirikannya tahun 1976, PTDI awalnya membuat pesawat dan
helikopter dengan lisensi dari perusahaan pesawat lainnya. Pesawat C212
merupakan pesawat lisensi dari Casa Spanyol yang juga di buat di
PTDI, kemudian pengembangan dari pesawat tersebut adalah NC212.
Tahapan berikutnya adalah memproduksi pesawat komersial yang lebih
besar yang rancang bangunnya kerjasama dengan Casa Spanyol yaitu
pesawat CN-235 (bermesin 2 dan berpenumpang 35). Pesawat CN235 diberi
nama Tetuko, tokoh dalam pewayangan.
N-250 adalah pesawat regional
komuter turboprop rancangan asli IPTN atau PT. DI sekarang. Menggunakan
kode N yang berarti Nusantara menunjukkan bahwa desain, produksi dan
perhitungannya dikerjakan di Indonesia atau bahkan Nurtanio, yang
merupakan pendiri dan perintis industri penerbangan di Indonesia.
Pesawat ini diberi nama gatotkoco (Gatotkaca).
Dan tahapan berikutnya adalah
pesawat terbang N250 Gatot Koco yang murni merupakan rancang bangun
dari PTDI. Pesawat N250 dirancang mempunyai kapasitas penumpang 50
orang. Kapasitas penumpang berkisar 50 memang diprediksi akan menguasai
pangsa pasar pesawat komersial. Diprediksi waktu itu, kebutuhan pasar
atas pesawat komersial antara 2000 – 2020 sekitar 8000 pesawat, dan
diperkirakan 45% adalah pesawat sekelas N250.
Pesawat ini merupakan primadona
IPTN dalam usaha merebut pasar di kelas 50-70 penumpang dengan
keunggulan yang dimiliki di kelasnya (saat diluncurkan pada tahun
1995). Menjadi bintang pameran pada saat Indonesian Air Show 1996 di
Cengkareng. Namun akhirnya pesawat ini dihentikan produksinya setelah
krisis ekonomi 1997. Rencananya program N-250 akan dibangun kembali
oleh B.J. Habibie setelah mendapatkan persetujuan dari Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono dan perubahan di Indonesia yang dianggap demokratis.
Namun untuk mengurangi biaya produksi dan meningkatkan daya saing
harga di pasar internasional, beberapa performa yang dimilikinya
dikurangi seperti penurunan kapasitas mesin,dan direncanakan
dihilangkannya Sistem fly-by wire.
3. Pesawat CN-235
CN-235 adalah pesawat angkut
jarak sedang dengan dua mesin turbo-prop. Pesawat ini dikembangkan
bersama antara CASA di Spanyol and IPTN (sekarang PT Dirgantara
Indonesia) sebagai pesawat terbang regional dan angkut militer. Versi
militer CN-235 termasuk patroli maritim, surveillance dan angkut
pasukan. CN-235 adalah sebuah pesawat angkut turboprop kelas menengah
bermesin dua. Pesawat ini dirancang bersama antara IPTN Indonesia dan
CASA Spanyol. Pesawat CN-235, saat ini menjadi pesawat paling sukses
pemasarannya dikelasnya.
Desain & Pengembangan
CN-235 diluncurkan sebagai kerja
sama antara CASA dan IPTN. Kedua perusahaan ini membentuk perusahaan
Airtech company untuk menjalankan program pembuatan CN-235. Desain dan
produksi dibagi rata antara kedua perusahaan. Kerja sama hanya
dilakukan pada versi 10 dan 100/110. Versi-versi berikutnya
dikembangankan secara terpisah oleh masing-masing perusahaan.
Desain awal CN-235 dimulai pada
Januari 1980, purnarupa pesawat terbang perdana pada 11 November 1983.
Sertifikasi Spanyol dan Indonesia didapat pada tanggal 20 Juni 1986.
Pesawat produksi terbang pertama pada 19 August 1986. FAA type approval
didapat pada tanggal 3 Desemebr 1986 sebelum akhirnya terbang pertama
untuk pembeli pesawat pada tanggal 1 Maret 1988. Pada tahun 1995,
CASA meluncurkan CN-235 yang diperpanjang, yaitu C-295
Versi Militernya Digunakan di Banyak Negara
Ternyata, versi militer CN 235 banyak diminati dan diekspor ke negara lain, yaitu :
- Afrika Selatan: Angkatan Udara Afrika Selatan (1)
- Amerika Serikat: Penjaga Pantai Amerika Serikat (8 HC-144)
- Arab Emirat: Angkatan Laut Persatuan Emirat Arab
- Arab Saudi: Angkatan Udara Arab Saudi
- Botswana: Angkatan Udara Botswana
- Brunei: Angkatan Udara Brunei (1)
- Chile: Angkatan Darat Chile (4 CN-235-100) satu jatuh di Antartika
- Ekuador: Angkatan Udara Ekuador
- Gabon: Angkatan Udara Gabon
- Indonesia: Angkatan Udara Indonesia (mengoperasikan CN235-100M, CN235-220M, CN235MPA)
- Irlandia: Korp Udara Irlandia (2 CN235MP)
- Kolumbia: Angkatan Udara Kolumbia
- Korea Selatan: Angkatan Udara Korea Selatan (20)
- Malaysia: Angkatan Udara Malaysia (8 CN235-220)
- Maroko: Angkatan Udara Maroko (7)
- Pakistan: Angkatan Udara Pakistan (4 CN235-220)
- Panama: Angkatan Udara Panama
- Papua New Guinea: Angkatan Udara Papua New Guinea
- Perancis: Angkatan Udara Perancis (19 CN235-100, 18 ditingkatkan menjadi CN235-200).
- Spanyol: Angkatan Udara Spanyol (20)
- Turki: Angkatan Udara Turki (50 CN235-100M); Angkatan Laut Turki (6 CN-235 ASW/ASuW MPA); Penjaga Pantai Turki (3 CN-235 MPA)
- Yordania: Angkatan Udara Yordania (2)
Disegani ?
Rupanya Australia, Singapura dan
Malaysia sudah lama tahu kehebatan para insinyur Indonesia. Buktinya?
Mereka sekarang sedang mencermati pengembangan lebih jauh dari CN 235
MPA (Maritime Patrol Aircraft) atau versi Militer.
Kalau para ekonom Indonesia
antek-antek World Bank dan IMF menyebut pesawat buatan PT. DI ini
terlalu mahal dan menyedot investasi terlalu banyak dan hanya jadi
mainannya BJ Habibie lalu mengapa Korea Selatan dan Turki mengaguminya
setengah mati.
Turki dan Korsel adalah pemakai
setia CN 235 MPA terutama versi militer sebagai yang terbaik di
kelasnya di dunia. Inovasi 40 insinyur-insinyur Indonesia pada CN 235
MPA ini adalah penambahan persenjataan lengkap seperti rudal dan
teknologi radar yang dapat mendeteksi dan melumpuhkan kapal selam. Jadi
kalau mengawal Ambalat cukup ditambah satu saja CN235 versi militer
(disamping armada TNI AL dan pasukan Marinir yang ada) untuk mengusir
kapal selam dan kapal perang Malaysia lainnya.
4. Pesawat N-219
N-219 adalah pesawat generasi
baru, yang dirancang oleh Dirgantara Indonesia dengan multi sejati
multi misi dan tujuan di daerah-daerah terpencil. N-219 menggabungkan
teknologi sistem pesawat yang paling modern dan canggih dengan mencoba
dan terbukti semua logam konstruksi pesawat terbang. N-219 memiliki
volume kabin terbesar di kelasnya dan pintu fleksibel efisiensi sistem
yang akan digunakan dalam misi multi transportasi penumpang dan kargo.
N-219 akan melakukan uji terbang di laboratorium uji terowongan angin
pada bulan Maret 2010 nanti. Pesawat N219 baru akan bisa diserahkan
kepada kostumer pertamanya untuk diterbangkan sekira tiga tahun atau
empat tahun lagi. N-219 merupakan pengembangan dari NC-212.
Spesifikasi :
- Multi Purpose, dapat dikonfigurasi ulang
- 19 Penumpang, tiga sejajar
- Campuran kargo penumpang
- Kinerja STOL
- Biaya operasional rendah
Saat ini, penerbangan perintis di
beberapa wilayah Nusantara seperti Papua masih menggunakan
pesawat-pesawat produksi lama, seperti Twin Otter. Beberapa unit yang
ada telah tidak layak pakai sehingga diperlukan pesawat yang lebih
modern.
Karenanya, sejak tahun 2006, PT
Dirgantara Indonesia (PT DI) mengembangkan pesawat N219 berkapasitas 19
orang untuk menggantikan peran pesawat perintis yang ada sekarang.
Saat ini, uji aerodinamika pesawat tersebut telah dituntaskan.
Agar tidak mengalami kegagalan
seperti pesawat CN 250, pihak PT DI akan memproduksi pesawat
berdasarkan order. "Kedepannya akan buat 25 unit dulu dan mengupayakan
seluruhnya terjual dahulu.
Pembuatan sejumlah unit
memerlukan dana sekitar Rp 1 triliun. Jumlah ini menurut Andi cukup
minim untuk membuat pesawat. Ia menargetkan, sejumlah pesawat akan
dibeli oleh pemerintah daerah.
Andi juga mengatakan, spesifikasi
pesawat N219 dirancang sesuai dengan kondisi geografis Indonesia.
Pesawat ini mampu mendarat di landasan yang pendek sehingga bisa
diaplikasikan di wilayah terpencil dengan lahan terbatas.
"Pesawat ini juga dirancang bisa
membawa bahan bakar tambahan. Kita menyadari bahwa tidak setiap daerah
memiliki tempat pengisian bahan bakar," hal ini merupakan kelebihan
pesawat N219.
Pengembangan pesawat ini
didasarkan pada karakteristik geografis Indonesia. "Kondisi geografis
kita berbeda dengan negara lain yang harus punya solusi sendiri".
Pengembangan pesawat kecil ini
diharapkan mampu menjangkau wilayah terpencil sangat pas. "Banyak
wilayah Indonesia yang tak mudah dijangkau dengan transportasi darat.
Pesawat perintis bisa menjadi solusi ".
Pesawat N219 memiliki potensi
besar untuk dipasarkan ke daerah-daerah seperti Sumatera dan Papua.
Pesawat ini juga ditargetkan bisa dipasarkan ke negara lain yang masih
membutuhkan, misalnya negara-negara di Afrika.
5. Pesawat NC-212
NC-212 Aviocar adalah sebuah
pesawat berukuran sedang bermesin turboprop yang dirancang dan
diproduksi di Spanyol untuk kegunaan sipil dan militer. Pesawat jenis
ini juga telah diproduksi di Indonesia di bawah lisensi oleh PT.
Dirgantara Indonesia. Bahkan pada bulan Januari 2008, EADS CASA
memutuskan untuk memindahkan seluruh fasilitas produksi C-212 ke PT.
Dirgantara Indonesia di Bandung. PT. Dirgantara Indonesia adalah
satu-satunya perusahaan pesawat yang mempunyai lisensi untuk membuat
pesawat jenis ini di luar pabrik pembuat utamanya.
Pesawat Casa NC 212-200 yang
digunakan dalam operasional hujan buatan dilengkapi dengan Weather
Radar (Radar Cuaca) dan Global Positioning System (GPS). Radar Cuaca
diperlukan untuk mengidentifikasi sifat internal dan dinamika awan yang
akan disemai, sehingga sangat membantu untuk menentukan awan mana
yang akan dijadikan sebagai sasaran penyemaian sekaligus sebagai
panduan safety penerbangan untuk pesawat menghindari zona berbahaya di
sekitar awan. GPS diperlukan untuk merekam dan mencatat posisi dan
track pesawat, sehingga memberi penjelasan tempat dilakukannya
eksekusi penyemaian awan.
6. Pesawat Tempur T-50 Golden Eagle
Anda pasti berfikir, dengan semua
kapasitas dan teknologi yang dimiliki Indonesia, kenapa sampai
sekarang Indonesia belum membuat Jet tempur ?
PT Dirgantara Indonesia (PTDI)
akhirnya siap berkerja sama dengan Korea Selatan mengerjakan proyek
pengembangan model pesawat tempur senilai US$8 miliar yang ditawarkan
pemerintah negara tersebut kepada Indonesia.
Kalau memproduksi sendiri
(pesawat tempur) belum bisa, tetapi kalau bergabung dengan Korea
Selatan bisa terlaksana. PT DI memiliki pengalaman dalam bidang
kualifikasi dan sertifikasi dalam memproduksi pesawat-pesawat yang
berkecepatan rendah seperti CN-235. Sementara itu, Korea Selatan
berpengalaman dalam memproduksi pesawat berkecepatan tinggi atau
melebihi kecepatan suara (1 mach) T-50 Golden Eagle.
T-50 Golden Eagle adalah pesawat
latih supersonik buatan Amerika-Korea. Dikembangkan oleh Korean
Aerospace Industries dengan bantuan Lockheed Martin. Program ini juga
melahirkan A-50, atau T-50 LIFT, sebagai varian serang ringan.
Walaupun militer Amerika Serikat
tidak ada rencana untuk membeli pesawat ini, tapi penamaan militer
amerika secara resmi diminta untuk pesawat ini guna menghindari konflik
penamaan dikemudian hari.
Program T/A-50 dimaksudkan
sebagai pengganti dari berbagai pesawat latih dan serang ringan. Ini
termasuk T-38 dan F-5B untuk pelatihan dan Cessna A-37BClose Air
Support; yang dioperasikan AU Republik Korea. Program ini pada awalnya
dimaksudkan untuk mengembangkan pesawat latih secara mandiri yang
mampu mencapai kecepatan supersonik untuk melatih dan mempersiapkan
pilot bagi pesawat KF-16 (F-16 versi Korea). T-50 mmembuat Korea
Selatan menjadi negara ke-12 yang mampu memproduksi sebuah pesawat
tempur jet yang utuh. Beberapa produk korea lainnya adalah KT-1 produk
Samsung Aerospace (sekarang bagian dari KAI), dan produk lisensi
KF-16. Sebagian besar sistem utama dan teknologinya disediakan oleh
Lockheed Martin, secara umum bisa disebut T/A-50 mempunyai konfigurasi
yang mirip dengan KF-16.
Pengembangan pasawat ini 13%
dibiayai oleh Lockheed Martin, 17% oleh Korea Aerospace Industries, dan
70% oleh pemerintah Korea Selatan. KAI dan Lockheed Martin saat ini
melakukan program kerjasama untuk memasarkan T-50 untuk pasar
internasional.
Program induknya, dengan nama
kode KTX-2, dimulai pada 1992, tapi Departemen Keuangan dan Ekonomi
menunda program KTX-2 pada 1995 karena alasan finansial. With the
initial design of the aircraft, in 1999. It was renamed T-50 Golden
Eagle in February 2000, with the final assembly of the first T-50
taking place between 15 January, 2001. Penerbangan pertama T-50 terjadi
pada Agustus 2002, dan pengujian tugas operasional pertama mulai Juli
28 sampai 14 Agustus, 2003. Angkatan Udara Korsel menandatangani
kontrak produksi untuk 25 T-50 pada Desember 2003, dan pengiriman
dijadwalkan pada 2005 sampai 2009.
Varian lain dari T-50 Golden
Eagle termasuk pesawat serang ringan A-50, dan pesawat yang lebih
canggih FA-50. The A-50 variant is an armed version of the T-50 as a
stable platform for both free-fall and precision-guided weapons. FA-50
is an A-50 modified with an AESA radar and a tactical datalink which
are not yet specified. As part of the A-37 retirement-out program to be
completed by 2015, sixty A-50's will be in service for the South
Korean air force by 2011.
7. Pesawat Tempur KFX
(Korea Fighter Experimental)
Pesawat jet tempur KFX sendiri
sebetulnya merupakan proyek lama Republic of Korea Air Force (ROKAF)
yang baru bisa terlaksana sekarang. Proyek ini digagas presiden Korea
Kim Dae Jung pada bulan Maret 2001 untuk menggantikan pesawat-pesawat
yang lebih tua seperti F-4D/E Phantom II dan F-5E/F Tiger. Dibandingkan
F-16, KFX diproyeksi untuk memiliki radius serang lebih tinggi 50
persen, sistim avionic yang lebih baik serta kemampuan anti radar
(stealth).
Pemerintah Korea akan menanggung
60 persen biaya pengembangan pesawat, sejumlah industri dirgantara
negara itu di antaranya Korean Aerospace Industry menanggung 20
persennya .pemerintah Indonesia 20 persen dan akan memperoleh 50
pesawat yang mempunyai kemampuan tempur melebih F-16 ini dan 100
pesawat untuk korea. Total biaya pengembangan selama 10 tahun untuk
membuat prototype pesawat itu diperkirakan menghabiskan dana 6 miliar
US Dollar.Pemerintah Indonesia akan menyiapkan dana US$1,2 miliar.
penandatanganan nota kesepahaman
(MoU) antara Indonesia-Korsel itu sudah dilakukan pada 15 Juli 2010
yang lalu di Seoul-Korea Selatan. Diharapkan pada tahun 2020 Sudah Ada
Regenerasi Pesawat Tempur untuk kedua pihak
Spesifikasi KFX sebagai berikut :
Crew : 1
Thrust : about 52,000lbs (F414 class x 2)
Max Speed : about Mach 1.8
Armament :
- M61 Vulcan
- AIM-9X class short-range AAM(AIM-9X class) (indigenous, under development)
- AIM-120 class beyond visual range AAM (not specified yet)
- 500lbs SDB class guided bomb|KGGB (indigenous)
- JCM class guided short range AGM (indigenous, under development)
- SSM-760K Haeseong ASM (indigenous)
- Boramae ALCM (indigenous, under development), or Taurus class ALCM
- Supersonic ALCM (based on Yakhont technology) (indigenous, under development)
Mengapa PT DI tidak membuat sendiri ?
Membuat pesawat tempur jauh lebih
kompleks daripada membuat pesawat penumpang karena ada tambahan
sistem dalam sebuah pesawat tempur yaitu sistem kontrol senjata pada
sistem avioniknya, disamping sistem mesin pendorong, sistem radar, dan
struktur pesawat yang harus dirancang lebih kuat namun tetap lincah
bermanuver di udara.
Pesawat tempur KFX ini dirancang
untuk masuk dalam kelompok pesawat tempur generasi 4,5 yang berarti
harus mempunyai 6 kemampuan yaitu :
- Kemampuan
pesawat tempur untuk melakukan manuver ekstrim agar mendapat posisi
serang paling menguntungkan (Air Combat Manuverability).
- Pesawat tempur harus bisa terbang lincah sehingga harus menggunakan teknologi fly by wire untuk kontrol penerbangannya.
- Penggunaan teknologi trust
vectoring nozzles yang mampu mengubah-ubah arah semburan gas buang
mesin jet agar pesawat tempur mempunyai kemampuan terbang dalam
kecepatan rendah dan mampu melakukan belokan tajam.
- Kemampuan untuk terbang jelajah pada kecepatan supersonik dalam waktu yang lama.
- Radar pesawat tempur berkemampuan menjejak target diluar batas cakrawala atau beyond visual range
- Kemampuan menyerap dan membiaskan pancaran radar atau teknologi stealth
Jadi bisa dibayangkan seandainya
PT. Dirgantara Indonesia dilibatkan dalam pembuatan pesawat tempur ini
maka akan ada penguasaan teknologi kedirgantaraan baru paling tidak
untuk pembuatan 50 pesawat tempur KFX yang akan dibeli Pemerintah
Indonesia nantinya dari keikutsertaannya membiayai proyek ini.
Penguasaan teknologi baru di bidang pembuatan pesawat tempur generasi
4,5 ini dapat menjadi modal dasar bagi PT. Dirgantara Indonesia untuk
membuat pesawat tempur sendiri kelak dikemudian hari.
Jadi untuk teknologi PT DI memang
belum mampu untuk membuat secara mandiri. Selain ini butuh modal
besar untuk melakukan riset sendiri namun jika besama korea maka
teknologi kita akan dapatkan dengan sendirinya dan kelak dapat
dikembangkan lagi untuk membuat pesawat tempur ciptaan sendiri