Siapa
perancang lambang negara Indonesia Garuda Pancasila? Sejumlah pengamat
menyebut nama Sultan Hamid II Alkadrie. Penguasa Kalimantan Barat pada
masanya ini sangat berjasa, terutama dalam perjuangan diplomatik
Indonesia. Namun sejarah “resmi” terkesan menutup-nutupinya.
Eksistensi Sultan Hamid II dalam sejarah perjuangan rakyat Indonesia
nyaris tak terasa. Padahal, dialah desainer lambang negara Indonesia,
Burung Garuda, biasa juga disebut ”Garuda Pancasila”.
Meski sejarah menutup-nutupi, sumbangsih Sultan Hamid II selaku
perancang lambang negara Indonesia tersebut tak boleh dilupakan.
Boleh jadi sejarah dan pencatatan sejarah tidak berpihak kepada sultan yang cerdas ini.
Begitulah penyakit negara bangsa yang kerap dengan mudahnya
menghilangkan jasa-jasa dan apa-apa yang telah diperbuat seseorang
hanya karena adanya perbedaan pandangan, seperti adanya perbedaan visi
seperti mengenai ideologi dan model atau bentuk negara, serta adanya
pertentangan politik akibat perbedaan itu. Terutama jika bertentangan
dengan rezim yang berkuasa. Biasanya, rezim yang berkuasalah yang
menentukan seperti apa sejarah hendak dicatat dan diceritakan kepada
generasi berikutnya.
Secara politik, sebenarnya tak ada alasan untuk menghalangi pengakuan
terhadap hasil karya Sultan Hamid II. Namun entah kenapa hingga hari ini
hal itu masih belum dapat terealisasikan.
Sultan Hamid II kadung dianggap sebagai tokoh makar. Namanya
disudutkan, kariernya dihitamkan, padahal berkat karyanya dinding
istana dan kantor-kantor pemerintahan di republik ini menjadi
berwibawa dengan lambang Garuda Pancasila.
Namun jangan coba mencari lambang Garuda di dinding Istana Kadriyah.
Tak bakal ketemu. Sultan Hamid telah berwasiat kepada anak-cucunya agar
tidak memajang lambang negara sebelum negara mengakui hasil karyanya.
Menyambut Hari Kesaktian Pancasila 31 Oktober, ada baiknya kita sedikit
menoleh ke belakang, mencari tahu salah satu babak penting dalam
sejarah negeri tercinta.
Sultan yang Cerdas
Adalah Turiman yang membuktikan kebenaran ini dalam tesis S-2 di
Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia pada 11 Agustus 1999
yang berjudul Sejarah
Hukum Lambang Negara Republik Indonesia, Suatu Analisis Yuridis
tentang Pengaturan Lambang Negara dalam Perundang-undangan. Dalam
tesisnya yang dibimbing oleh Prof. Dimyati Hartono, Turiman
mempertahankan secara yuridis dengan data-data yang akurat mengenai
siapa sebenarnya pencipta lambang negara Burung Garuda.
Sultan Hamid II, yang juga sultan kedelapan dari Kesultanan Kadriyah
Pontianak, memiliki nama lengkap Abdurrahman Hamid Alkadrie. Putra
Sultan Syarif Muhammad Alkadrie, Sultan VII Kesultanan Pontianak, ini
lahir di Pontianak pada 12 Juli 1913. Ayahnya adalah pendiri kota
Pontianak.
Sultan Hamid II dikenal cerdas. Ia adalah orang Indonesia pertama yang
menempuh pendidikan di Akademi Militer Belanda (KMA) di Breda Belanda,
semacam Akabri, dengan pangkat letnan dua infanteri pada 1936. Ia juga
menjadi ajudan Ratu Juliana dengan pangkat terakhir mayor jenderal.
Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia
tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan
mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Setelah ayahnya mangkat
akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 ia diangkat menjadi sultan
Pontianak, menggantikan ayahnya, dengan gelar Sultan Hamid II.
Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan
penting sebagai wakil Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB)
berdasarkan konstitusi RIS 1949 dan selalu turut dalam
perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC, dan KMB di
Indonesia dan Belanda.
Sultan Hamid II kemudian memperoleh pangkat tertinggi sebagai asisten
ratu Kerajaan Belanda dan menjadi orang Indonesia pertama yang
memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran.
Mengkoordinasi Kegiatan Perancangan
Sultan Hamid adalah salah satu tokoh penting nasional dalam mendirikan
Republik Indonesia bersama rekan seangkatannya, Soekarno, Muhammad
Hatta, Ki Hajar Dewantara, Mr. Muhammad Roem, dan Muhammad Yamin.
Dalam sejarah pendirian RI, Sultan Hamid pernah menjadi ketua Delegasi
BFO (Wakil Daerah/Negara buatan Belanda) dalam Konferensi Meja Bundar di
Den Haag, Belanda, 23 Agustus 1949. Ia juga menjadi saksi pelantikan
Soekarno sebagai presiden RI di Keraton Yogyakarta pada 17 Desember
1949. Ini terlihat dalam foto yang dimuat di Buku 50 Tahun Indonesia Merdeka.
Sepak terjangnya di dunia politik menjadi salah satu alasan bagi
Presiden Soekarno untuk mengangkat Sultan Hamid sebagai menteri negara zonder porto folio di Kabinet RIS 1949-1950.
Dalam sejarah pergerakan bangsa Indonesia yang dimuat dalam 50 Tahun Indonesia Merdeka disebutkan,
pada 13 Juli1945, dalam Rapat Panitia Perancang Undang-undang Dasar,
salah satu anggota Panitia, Parada Harahap, mengusulkan ihwal lambang
negara. Pada 20 Desember 1949, berdasarkan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Serikat Nomor 2 Tahun 1949, Sultan Hamid Alkadrie II
diangkat sebagai menteri negara RIS. Dalam kedudukannya ini, ia
dipercaya oleh Presiden Sukarno mengoordinasi kegiatan perancangan.
Bhinneka Tunggal Ika
Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan file dokumen
proses perancangan lambang negara disebutkan, “ide perisai Pancasila”
muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Ia
teringat ucapan Presiden Soekarno bahwa hendaknya lambang negara
mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, yang mana
sila-sila dasar negara, yaitu Pancasila, divisualisasikan dalam
lambang negara.
Tanggal 10 Januari 1950 dibentuklah Panitia Teknis dengan nama Panitia
Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio
Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki
Hajar Dewantoro, M.A. Pellaupessy, Moh. Natsir, dan R.M. Ng.
Purbatjaraka sebagai anggota.
Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku Bung Hatta Menjawab, untuk melaksanakan keputusan sidang kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara.
Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M. Yamin.
Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR RIS adalah
rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak, karena menyertakan
sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang.
Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan
Hamid II), Presiden RIS Soekarno, dan Perdana Menteri Mohammad Hatta,
terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi
kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda,
yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan
menambahkan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”.
Karya Anak Bangsa
Tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat
Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II, diajukan kepada Presiden Soekarno.
Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai
Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar
burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai
dan dianggap bersifat mitologis.
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang
telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga
tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila.
Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh. Hatta sebagai perdana menteri.
A.G. Pringgodigdo dalam bukunya Sekitar Pancasila terbitan
Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI, menyebutkan, rancangan lambang negara
karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang
Kabinet RIS.
Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih
“gundul” dan “tidak berjambul” seperti bentuk sekarang ini. Inilah
karya kebangsaan anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan
kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II, menteri
negara RIS.
Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya
lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada
15 Februari 1950.
Bentuk Final Lambang Negara
Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala
burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul”.
Bentuk cakar kaki yang mencengkeram pita, dari yang semula menghadap ke
belakang menjadi menghadap ke depan, atas masukan Presiden Soekarno.
Tanggal 20 Maret 1950, bentuk final gambar lambang negara yang telah
diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian
memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan
tersebut sesuai bentuk final rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid
II, yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.
Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan
bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran
dan tata warna gambar lambang negara, yang lukisan otentiknya diserahkan
kepada H. Masagung, Yayasan Idayu Jakarta, pada 18 Juli 1974.
Rancangan terakhir inilah yang menjadi lampiran resmi PP No. 66 Tahun
1951 berdasarkan pasal 2 Jo Pasal 6 PP No. 66 Tahun 1951. Sedangkan
lambang negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar
lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari
1950 masih tetap disimpan oleh Keraton Kadriyah Pontianak.
Salah satu keistimewaan Garuda Pancasila terletak pada warna
keemasannya, yang melambangkan cita-cita para perintis kemerdekaan
untuk membangun masyarakat adil dan makmur. Di negara lain, yang
memakai sejenis lambang garuda atau elang, biasanya berwarna hitam
putih, sesuai warna burung tersebut di alam bebas.
Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di Pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.
Jasa Sultan Hamid II lainnya yang terlupakan adalah peranannya dalam
forum KMB, yang tidaklah semata-mata memperjuangkan BFO dan
federalisme. Kesediaan Belanda menyetujui penyerahan kedaulatan seluruh
wilayah bekas jajahannya di Hindia Belanda kepada Republik Indonesia
Serikat tidak terlepas dari keberhasilannya membujuk Ratu Yuliana,
selaku ratu Belanda. Ini bukti kelihaian diplomasi dan kedekatan Sultan
Hamid II, yang pernah menjadi ajudan atau pengawal Ratu Yuliana.
Penilaian Kalangan Akademisi
Turiman, S.H. M.Hum., dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura
Pontianak, yang mengangkat sejarah hukum lambang negara RI sebagai
tesis demi meraih gelar magister hukum di Universitas Indonesia,
menjelaskan, hasil penelitiannya tersebut bisa membuktikan bahwa Sultan
Hamid II adalah perancang lambang negara.
“Satu tahun yang melelahkan untuk mengumpulkan semua data. Dari tahun 1998 sampai 1999,” katanya.
Yayasan Idayu Jakarta, Yayasan Masagung Jakarta, Badan Arsip
Nasional, Pusat Sejarah ABRI, dan tidak ketinggalan Keluarga Istana
Kadariyah Pontianak, adalah tempat-tempat yang paling sering
disinggahinya untuk mengumpulkan bahan penulisan tesis yang diberinya
judul Sejarah Hukum
Lambang Negara RI – Suatu Analisis Yuridis Normatif tentang Pengaturan
Lambang Negara dalam Peraturan Perundang-undangan.
Di hadapan dewan penguji, Prof. Dr. M. Dimyati Hartono, S.H. dan Prof.
Dr. H. Azhary, S.H., ia berhasil mempertahankan tesisnya itu pada hari
Rabu 11 Agustus 1999. “Secara hukum, saya bisa membuktikan, mulai dari
sketsa awal hingga sketsa akhir, Garuda Pancasila adalah rancangan
Sultan Hamid II,” katanya.
Hal yang sama juga pernah disuarakan Sultan Syarif Abubakar Alkadrie,
pemegang tampuk kekuasaan Istana Kadriyah Kesultanan Pontianak, yang
menjadi ahli waris Sultan Hamid Alkadrie II. Menurutnya, negara pantas
memberikan penghargaan terbaik kepada almarhum Sultan Hamid Alkadrie
II atas jasanya menciptakan lambang negara Burung Garuda. Penghargaan
yang tepat adalah pemberian gelar pahlawan nasional kepada Sultan
Hamid Alkadrie II.
Untuk mengembalikan fakta sejarah yang sebenar-benarnya mengenai
pencipta lambang negara Burung Garuda, pihak ahli waris dan pemerintah
Kalimantan Barat serta Universitas Tanjungpura pernah menyelenggarakan
seminar nasional di Pontianak. Ketua DPR Akbar Tandjung juga hadir
dalam acara yang berlangsung pada 2 Juni 2000.
Saat itu, Akbar Tandjung, yang juga ketua umum Partai Golongan Karya,
juga mengusulkan agar nama baik Sultan Hamid Alkadrie II dipulihkan dan
diakui sebagai pencipta lambang negara. Sayangnya, usulan itu tak ada
tindak lanjutnya hingga sekarang.
(Dikutip oleh Tim
Sarkub dari Majalah Alkisah)